Kalau saja krisis moneter tidak melanda Indonesia pada 1997, JTM tidak akan lahir. Maka bisa jadi kelahiran JTM karena “pelarian” pendirinya, Adi Pranajaya, yang sedang mencari kesibukan baru akibat bisnis di bidang perfilman kala itu sedang terpuruk.
Pada 15 Februari 1999 ketika JTM terbit pertama kali, sesungguhnya Adi Pranajaya sedang “tiarap”. Bisnis perfilman yang digeluti- nya sedang terpuruk.
Adi Pranajaya yang latar belakang pendidi- kan Sinematografi, dan sejak 1989 menjadi dosen Institut Kesenian Jakarta, mengawali debut sutradara pada 1994 dengan membuat Perang Sapugara. Setelah itu, pada 1996, membuat film Dua Ibu.
Belum rampung film Dua Ibu, krisis moneter menerjang Indonesia. Dalam kegalauan itu, karena sebelumnya sudah hobby tenis meja, lalu berpikirlah untuk mencari kesibukan lain sampai kondisi perfilman normal. Dipilihlah kemudian membuat media JTM.
JTM pun kemudian terbit sebulan sekali sepanjang 1999. Semua permodalan dari Adi Pranajaya. Bentuknya sederhana dan hitam putih. Berita-berita yang diangkat adalah event SILATAMA, profil klub, wawancara atlet, dan lain-lain.
Teman-teman yang membantu ketika itu Ucu Suhata, Albo, Sungkono, Iman, Abdinal, Edi Endar, dan Yudhistira. Maka diam-diam Adi menikmati “keberadaan” JTM. Ia merasa punya banyak teman “baru” di luar dunia film.
Sampai kemudian, di penghujung 1999, Diana Wuisan, mantan atlet nasional yang saat itu men- jabat Ketua Umum PTM Surya GG Kediri menelpon dari Kediri. Mengundang JTM ke Kediri untuk menjalin kerja sama.

Adi Pranajaya, pada 2021, berkunjung ke Solo, tempat atlet-atlet tenis meja difable TC, sebelum try out ke luar negeri.
Hasilnya, penerbitan JTM per Januari 2000 berubah. Lingkup berita lebih luas. Iklan produk peralatan tenis meja mulai “hadir” di JTM. Oplah yang semula 1500 eks, meningkat menjadi 3000 eks bahkan 5000 eks. Jangkauan distribusi sampai ke pelosok.
Kendala yang membuat JTM sempat “tertatih-tatih”, Adi Pranajaya sering ke luar kota mengerjakan projek filmnya.
Selama 2000-2022, bayangkan, lebih 80 judul film (cerita, iklan, dan dokumenter) digarap. Belum termasuk 17 buku film dan 3 buku tenis meja yang ditulis. Kemudian lagi, pada 2003-2009 men- dapat amanat sebagai Direktur Sinematek Indonesia Pusat Perfilman.
Ada lagi, pada 2010- 2014, Adi menerbitkan pula Jurnal Patriot dan Jurnal Budaya (bulanan).
Beruntung di sela-sela itu, tekad dan komitmen pada JTM tidak hilang atau luntur.?US
